Jam Belajar Anak Indonesia Mengeksploitasi Anak
Ketua Komisi Nasional Perlindungan
Anak, Seto Mulyadi,
mengatakan, jam belajar anak Sekolah Dasar (SD) di Indonesia mencapai 1.400 jam
per tahun, melebihi standar jam belajar 800 jam per tahun yang telah ditetapkan
UNESCO. ”Standar belajar UNESCO 800 jam per tahun untuk anak SD, sedangkan
anak SD di Indonesia belajarnya mencapai 1.400 jam.
”Anak-anak pada dasarnya sejak kecil
senang belajar. Yang membuat mereka tidak senang ya gara-gara sekolah itu
dibuat jadi ‘susah’, PR-nya, kurikulumnya terlalu padat,” ujar Kak Seto. Oleh
karena itu para orang tua dengan berbagai macam cara berusaha untuk
meningkatkan prestasi akademik sang anak. Entah itu dengan
memasukkan anak ke full day school, les privat maupun bimbingan
belajar sampai menyita waktu bermain anak.
Jika kita mau meninjau
ulang berbagai macam usaha untuk memajukan
pendidikan di negeri ini, semuanya terpusat
pada “Bagaimana cara menggembleng siswa dan mencekoki siswa
dengan materi‐materi yang sudah ditetapkan oleh
kurikulum di Negeri ini. Semua berorientasi pada
Kuantitas bukan Kualitas”. Lalu, walaupun secara kuantitas
jam belajar di negeri ini melebihi
jam belajar di jepang atau perancis. Apakah kualitas
dari proses pembelajaran yang berlangsung di Indonesia bisa dikatakan
lebih baik dari kedua Negara tersebut? Lalu apakah visi
pembelajaran yang dicanangkan sudah tercapai? Lalu
adakah faktor lain yang bisa mempengaruhi keefektifan proses
Kegiatan Belajar Mengajar? Padahal, data dari
UNESCO menyebutkan bahwa Jam belajar anak‐anak sekolah
di Indonesia mencapai 1.680 jam per tahun untuk SMP
dan SMP atau 42 jam dalam seminggu.
Bila dibandingkan dengan anak‐anak
di Jepang jenjang yang sama hanya memerlukan waktu
30 jam atau 32 jam untuk anak
sekolah di perancis, dua Negara yang system
pendidikannya diakui cukup baik di dunia. Di Australia jam
belajarnya malah hanya 25 jam. Bisa dibayangkan
betapa besar tekanan yang di alami
siswa dengan banyaknya beban serta tuntutan
yang mereka emban baik dari orang tua, guru maupun
lingkungan sekitar. Siswa dituntut untuk belajar dengan waktu
yang lama yaitu 42 jam dalam
seminggu bahkan jam belajar itu melebihi
jam belajar 2 negara yang
sistem pendidikannya diakui cukup baik di
dunia. Lalu pertanyaan yang muncul adalah
apakah hasil yang dicapai system pendidikan
di Indonesia bisa maksimal dan bisa melebihi ke 2 negara
tersebut? Sisi positif dari ‘belajar lama’ ini
mungkin saja ada, namun tak begitu
kelihatan. Yang ‘kelihatan’ malah sisi kelemahan kita.
Sebut saja, katanya, jika diambil rata‐rata
kemampuan intelektual siswa Indonesia dari SD sampai SMA disbanding
anak‐anak Negara lain yang menerapkan jam
belajar yang lebih pendek, misalnya jepang
atau perancis. “Apakah anak‐anak Indonesia
lebih berkualitas secara rata‐rata? Rasanya tidak. Atau jika Negara
tetangga seperti Singapura, kita juga masih kalah.
Apakah kita lebih bodoh? . Gurupun juga tidak kalah
takutnya.
Para guru sangat ditekan oleh
tuntutan kurikulum yang padat dalam waktu yang singkat. Para guru
dituntut untuk menyampaikan banyak materi
dengan cepat, melakukan evaluasi permateri
dan belum lagi untuk memenuhi tuntutan
kelulusan juga kewajiban secara tidak
langsung untuk menjaga reputasi sekolah. Dan
tentunya guru akan semakin
intens menggembleng siswa walau harus dengan
menambah jam belajar siswa di sekolah.
Komentar